“Merawat Pernikahan Melalui Kesederhanaan”.
Terima kasih kepada tim Diskusi Online Indonesia (SAGA, SINTESA, Pusat Studi Globalisasi dan Gerakan, serta SDMS PP KAMMI) yang sudah mengundang saya dalam kegiatan yang insyaAllah penuh berkah ini. Semoga kita sehat selalu dalam lindungan Allah. Sebelumnya, saya ingin menyampaikan beberapa hal:
1. Saat ini saya memang sedang fokus meneliti tentang Kesehatan Mental dan Ketahanan Keluarga. Qadarullah bekerja di kampus, jd neliti terus hehe (mau gamau haha) Namun, bukan berarti saya benar-benar ahli di bidang ini. Jadi, kita sharing aja ya. Hehe
2. Apa yang saya jabarkan nanti meliputi persiapan yang dilakukan SEBELUM menuju pernikahan, ternyata juga terus kami lakukan PASCA menikah
Ketertarikan saya untuk membahas kesederhanaan dalam pernikahan sebenarnya berawal dari sebuah hadis berikut ini:
*Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya* *(HR. Ahmad)*.
Jika mahar yang merupakan “syarat sah” dari pernikahan, dan ternyata “kemudahan dalam mahar” menjadi keistimewaan, artinya kita juga bisa menerapkan “kesederhanaan” dalam aspek-aspek kehidupan kita, termasuk merawat pernikahan. Setuju, nggak?
[6/5 21.08] +62 816-566-331: Selain itu, Fakultas Psikologi UGM juga mengadakan penelitian systematic review mengenai karakter keluarga yang tangguh. Hasil penelitian menunjukkan karakter keluarga tangguh sebagai berikut:
a. Memiliki kebersamaan
b. Mampu memecahkan masalah
c. Menikmati kebersamaan
d. Membangun komunikasi positif
e. Mampu mengontrol perilaku
f. Ada kepemimpinan dalam keluarga
g. Fungsi dan peran anggota jelas
h. Spiritualitas dan religiusitas yang baik
Sedangkan, lima Faktor penentu keluarga tangguh adalah:
a. Legalitas pernikahan (jadi penting ya, sah secara AGAMA dan NEGARA)
b. Kebutuhan keluarga
c. Ketahanan fisik
d. Ketahanan Ekonomi
e. Ketahanan sosial-psikologis
f. Ketahanan sosial budaya
Dari hasil penelitian di atas, sebenarnya bisa kita tangkap bahwa ketahanan keluarga itu dibentuk melalui banyak aspek, sekaligus banyak cara. *Ketahanan ekonomi (yang kemarin dibahas lengkap sama Kak* @sekar bundabijaksana.com ), disebut sebagai salah satu faktor penentu keluarga tangguh. Dengan memiliki ketahanan ekonomi, keluarga diharapkan tidak hanya memberikan pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, tapi juga jadi teladan bagi anak-anaknya kelak, alias membentuk kebiasaan yang baik.
Berdasarkan BKKBN (2014) ada 4 hal penting untuk menjaga ketahanan ekonomi keluarga, yaitu:
1. Mampu Mengatur Keuangan Keluarga
2. Memiliki Pola Hidup Sederhana
3. Memiliki Sumber Penghasilan Tambahan
4. Memiliki beberapa aset keluarga (SDM, Fisik, Kertas, dsb)
[6/5 21.11] +62 816-566-331: *Baik Islam dan Negara sama-sama menganjurkan kita untuk hidup sederhana ya. Lalu, dimana masalahnya?*
Pernah mendengar kisah “di sekitar kita” yang menggelar pesta pernikahan sampai hutang kemana-mana namun kesulitan membayar hutang pasca menikah? Saya pernah menjadi saksi kisah tersebut, sering banget baca berita yang senada dengan kasus ini. Padahal, ketahanan ekonomi bukan berarti harus foya-foya atau sekadar terlihat kaya kan? Ada banyak hal lain (selain ketahanan ekonomi) yang juga perlu dirawat, diantaranya seperti parenting, keharmonisan pasangan, dan komunikasi. Sehingga, keliru bila kita masih punya mindset, “menyelenggarakan acara pernikahan” dengan standar orang lain. Itu ibarat kita mau beli sepatu, tapi yang dijadikan acuan ukuran sepatu adalah kaki orang lain, artinya boleh jadi ukurannya sama, tapi bisa juga BEDA.
Sebenarnya, ada beberapa sebab mengapa proses menuju pernikahan dirasa *mahal*. Salah satunya adalah konsep acara lamaran yang berlebihan. Saat ini bisa kita lihat fenomena di media sosial, lamaran tapi settingannya sudah seperti akad nikah. He he he. Ya barangkali mereka memang ada uang untuk melakukan hal itu. Pemuda pemudi ini ingin “segera” menyelesaikan salah satu “sebab” quarter life crisis dengan meng-upload foto pertunangan mereka di media sosial, lalu “menginspirasi” alias memicu orang lain untuk “punya” standar konsep acara yang sama. Tentu kita tidak mau terjerembab dalam budaya tersebut kan? Saya pribadi menganut prinsip merahasiakan khitbah dan memberi kabar pernikahan.
Alasan logisnya, kami sedang mengelola ekspektasi supaya (bila) terjadi hal-hal yang diluar kuasa kami, kami tidak menyakiti siapapun, dan merasa lebih tenang ketika tidak koar-koar. Calon suami saya (saat itu) juga punya pikiran yang sama. Akhirnya makin mantap untuk menjadikan momen khitbah sebagai silaturahim keluarga inti saja, tidak ada sesi foto formal, hanya makan bersama dan berdiskusi terkait tanggal. Alasan syar’i nya adalah sebuah hadis berikut ini,
*“Gunakan cara rahasia ketika ingin mewujudkan rencana. Karena setiap pemilik nikmat, ada peluang hasadnya*. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 2455 dan dishahihkan al-Albani)
*Persiapan pernikahan*
Saya mengenal calon suami saya di akhir bulan November 2017, saat kami sama-sama mengikuti program Persiapan Keberangkatan LPDP. Tidak ada bayangan akan menikah dengan “orang ini”, sehingga ketika beliau menyatakan ingin serius di bulan Mei 2018 dan bersikukuh ingin menikahi saya sebelum berangkat studi (Agustus 2018), tentu tidak banyak waktu yang saya miliki. Jarak dari proses khitbah dan pernikahan hanya 2 bulan, sehingga kami memutuskan untuk mengkonsep acara sesederhana mungkin, sesuai kemampuan, dan menanggung sendiri biaya pernikahan (sebagai bentuk tanggung jawab atas keputusan kami, sekaligus bentuk empati kepada kondisi orangtua masing-masing). Berikut adalah beberapa hal yang saya lakukan, sekaligus sejalan dengan beberapa hasil penelitian di kajian Kesehatan Mental Keluarga, berikut ini: 🔽🔽🔽🔽🔽
1. *Keterbukaan antar calon pasangan*
Terbuka antar keluarga inti, tertutup terhadap dunia luar (tidak menyebarkan informasi rencana pernikahan ke media sosial atau ke orang lain yang tidak punya kepentingan), dan jujur satu sama lain adalah tiga hal “Kesederhanaan” yang saya kolaborasikan dengan calon suami saya. Belajar terbuka mengenai karakter, kepribadian, dan bagaimana keluarga kami. Kalau dalam falsafah jawa, kita akan mengenal Bobot, Bibit, dan Bebet. Ada yang menganggap hal ini terlalu perhitungan. Padahal, bagi saya hal ini adalah bentuk pertanggungjawaban paling realistis yang bisa dilakukan.
Penjabarannya adalah sebagai berikut:
(a) Bobot artinya kualitas diri, baik secara lahir maupun batin. Termasuk keimanan, pendidikan, pekerjaan, kecakapan dan perilaku calon pasangan. Sanggup menafkahi, sanggup mengimami, serta sanggup mengasihi;
(b) Asal usul atau garis keturunan, artinya harus jelas latar belakangnya. Dari mana ia berasal, dengan cara apa dan oleh siapa ia dididik. Karena meski bagaimanapun, watak atau karakter adalah sesuatu yang berpotensi dibentuk dalam keluarga;
(c) Citra diri, penampilan yang ia tampakkan, penampilan fisik. Kriteria ini sengaja diletakkan di akhir, karena sifatnya sangat subjektif dan rasanya bukan jadi penentu utama, tapi bukan berarti tidak sama sekali. Iya nggak? Hehe
*Terbuka dan mengkomunikasikan cara mengelola keuangan dan karir*
Rezeki itu adalah sunnatullah. Sebagai orang yang beriman kita percaya bahwa Allah adalah sang pemberi rezeki. Meski kita yakin bahwa segala rezeki datangnya dari Allah, kita perlu menjemput rezeki itu dengan sebaik-baik ikhtiar.
Membangun keterbukaan mengenai cara mengelola keuangan saya terapkan dengan calon suami saya, meski dalam waktu yang sangat singkat, namun harus clear sejak awal. Ketika memutuskan menerima lamaran calon suami di bulan Mei 2018, saya tidak terlalu membayangkan bagaimana nanti saat hari H pernikahan kami. Yang melesat dalam pertanyaan pertama saat itu adalah “*apakah ada hutang yang belum dibayar*?”. Mungkin aneh, tapi menyelesaikan hutang adalah salah satu prinsip yang saya pegang sebelum memutuskan menikah untuk meminimalisir permasalahan yang terjadi pasca menikah. Mengesampingkan “rasa sungkan” dengan sebentuk ketegasan di awal insyaAllah akan lebih tenang daripada bermasalah di belakang.
Hal kedua yang perlu dikomunikasikan adalah bagaimana calon pasangan mengatur pengeluaran dan pemasukan, beserta pos-pos yang sudah ia petakan selama ini (review dikit dari materi kak @sekar bundabijaksana.com ). Tidak ada salahnya menanyakan bagaimana calon pasangan menyalurkan rezeki yang ia dapat, bagaimana perannya di keluarga saat ini dan nantinya. Selain memastikan bahwa ia sanggup menafkahi keluarga kelak, saya harus memastikan bahwa sumber pendapatannya diperoleh secara halal dan thayyib. Ini penting untuk disampaikan secara ringkas namun jelas, sehingga bentuk pertanggungjawaban harta yang dititipkan Allah juga jelas. Di dalam buku “*Istri Bukan Pembantu*” karya Ahmad Sarwat, Lc., MA, dituliskan bahwa kewajiban menafkahi keluarga memang pada suami, namun atas dasar *kerelaan*, istri diperbolehkan membantu suami. Selain memastikan sumber penghasilan yang *halal dan thayyib*, mengelola pendapatan juga berupa memahami potensi diri yang sekiranya memungkinkan menjadi pintu rezeki. Hal ini juga harus diikuti dengan tetap membangun koneksi, rajin sedekah, saling mendoakan, dan bila memungkinkan mengambil kerja sampingan (part time).
[6/5 21.19] +62 816-566-331: Hal ketiga yang tidak kalah penting adalah saling terbuka dengan *life-style* masing-masing. Saya dapat mengatakan salah satu hal yang dapat menjaga kestabilan finansial bukan dari penghasilan yang sifatnya tetap dan besar, melainkan dari *gaya hidup*. Pastikan bahwa kebutuhan terpenuhi cukup, namun tidak berlebihan. Saya dan suami sebisa mungkin mengatur finansial dengan cara “*sederhanakan kebutuhan, perluas pendapatan*”. Ada dua pendekatan untuk mengatur finansial, termasuk dalam kondisi darurat:
a) Memampatkan kebutuhan dan sebisa mungkin hemat;
b) Memperluas pendapatan. Nah, kalau bisa kolaborasi keduanya, mengapa tidak dilakukannya saja? Disinilah *kepekaan hati* untuk membedakan mana *keinginan dan kebutuhan* diperlukan.
Terakhir, penting bagi calon pasangan untuk *menyampaikan pandangan mengenai rencana karir masing-masing*. Diskusikan dengan jelas mengenai berbagi *peran sebagai suami dan istri*, berbagi *amanah di masyaraka*t dan dunia kerja. Menikahi seseorang, artinya *menikahi mimpi-mimpinya juga*. Qadarullah, saya dan calon suami saya saat itu sama-sama menjadi calon penerima beasiswa yang akan melanjutkan studi S2 di luar negeri, dengan negara yang berbeda. Tentu ada keinginan untuk tetap bisa tinggal bersama setelah menikah, namun kami paham bahwa penerima beasiswa S2 *tidak mendapatkan bantuan dana hidup* keluarga dan kondisi finansial kami saat itu tidak memungkinkan bila harus menanggung biaya hidup di luar negeri. Alhamdulillah, kami sepakat untuk *tidak menunda keberangkatan* salah satu diantara kami setelah menikah. Meski konsekuensi yang harus dihadapi adalah Long Distance Marriage, namun secara waktu dan kebutuhan finansial dapat dikatakan lebih *efisien dan realistis*. Saat memutuskan menikah, calon suami saya bekerja di perusahaan farmasi di Jakarta, dan saya bekerja di Universitas Airlangga, Surabaya. Namun, sebelum berangkat studi, suami saya memutuskan untuk resign dari kantor. Sejak awal menikah (sekaligus selama masa studi), kami selalu berdiskusi mengenai rencana setelah pulang. Karena saya masih terikat kontrak dengan kampus, sulit bagi saya untuk tidak tinggal di Surabaya, sedangkan suami cenderung lebih fleksibel statusnya, sehingga kami memutuskan untuk tinggal di Surabaya pasca pulang sekolah.
3. *Konsep acara akad nikah dan resepsi/walimatul ‘ursy yang sederhana.*
Berdasarkan hasil survey kecil-kecilan di Instagram, salah satu yang membuat mereka menunda pernikahan adalah belum siap dengan biaya acara pernikahan. Menurut saya, rasa takut akan hal ini masih jauh lebih realistis dari pada tidak memiliki rasa takut lalu *mengonsep acara pernikahan besar-besaran sampai hutang kemana-mana*. Tidak dipungkiri, setiap keluarga memiliki budaya dan value nya masing-masing. Namun, tidak semua budaya harus diikuti dan disamaratakan, termasuk konsep acara pernikahan.
Dari awal, kami sepakat untuk mengelola acara pernikahan kami sendiri, tanpa Wedding Organizer, dan juga biaya sendiri (patungan dari uang yang saya miliki dan bantuan dari calon suami saya). Alasan kami sederhana, sedari awal tidak ingin merepotkan kedua orangtua, menghindari hutang, dan tetap menjamu tamu dengan baik. Salah satu impian pernikahan saya adalah memberi santunan kepada anak yatim piatu, dan alhamdulillah calon suami saya memiliki keinginan yang sama. Kami berusaha menekan semua biaya supaya realistis, kecuali catering. Hal ini dilakukan karena makanan yang enak dan sehat adalah upaya kami untuk menjamu tamu. Alhamdulillah, perpanjangan tangan Allah juga hadir melalui pertolongan teman saya yang mendesain undangan pernikahan, teman-teman kontrakan yang berkenan menggunakan baju dengan warna yang senada (meski saya tidak menyediakan kostum apapun).
Hal yang saya tekankan disini:
*pelaksanaan acara pernikahan yang sederhana adalah bagian dari upaya realistis kami menghadapi kehidupan pasca menikah*. Selain itu, penting buat kita untuk stay connected, karena pertolongan Allah bisa hadir lewat si(apa) saja. Meski sebulan setelah menikah kami harus LDM dan tentunya biaya hidup dibantu oleh beasiswa, kami sudah memikirkan untuk rencana jangka panjang (ketidakpastian pasca studi, terbiasa mempersiapkan dana darurat sejak sebelum menikah, bahkan sebelum tahu bahwa pada akhirnya kita akan menghadapi badai corona).
Memang, acara hari H hanya akan sekali seumur hidup (Aamiin), namun jangan sampai rencana yang tidak realistis (menyebabkan hutang atau menghabiskan dana yang begitu besar) menyebabkan permasalahan di kemudian hari.
Terakhir, saya hanya ingin mengutip salah satu hadis yang menunjukkan Rasulullah mengajarkan kita kesederhanaan dalam menyelenggarakan pernikahan.
*“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.”* (HR. Abu Dawud)
Dalam mengadakan walimatul ‘ursy, kembalikan lagi niat kita untuk menjalankan sunnah Rasul, berbagi kebahagiaan dengan menghidangkan makanan kepada undangan. Sesuatu yang kita niatkan dengan baik, insyaAllah akan jadi amal salih, sehingga pengeluaran dan waktu yang diluangkan insyaAllah akan diganti dengan pahala dan keberkahan kedepannya.
Sebagai penutup pengantar diskusi malam ini, beberapa waktu lalu, saya sempat survey kecil-kecilan di Instagram, mengenai “*Lebih memilih menikah di Gedung/rumah?*” Jawabannya hampir 50:50. Terkait konsep dan biaya pernikahan, serta mana yang lebih baik, tentu akan ke nilai hidup dan support system masing-masing orang, dan tentu ngga bisa disamakan. Prinsip saya, keputusan yang baik adalah keputusan yang bisa mengukur kemampuan diri dan mampu berdamai dengan budaya. Selama memiliki budget dan tidak sampai hutang ke orang lain (apalagi bank, hanya untuk menikah), lanjutkan saja! :)
🙏 Sekian pengantar dari saya, bisa dibaca2 dulu hehehe, saya kembalikan ke mas Iqbal selaku moderator. Wassalamualaikum
[6/5 21.41] Diskusi Pustaka Saga: Baik, penanya pertama dari mbak @dhelLphiieCaramouy🍁
Assalamualaikum.pemateri izin bertanya, jika saya tidak mau memberi mahar seperangkat alat salat, karena tanggung jawab yang cukup berat, dan jika tidak dijalankan mahar tersebut bagaimana? Sedangkan saya tidak mau memberi mahar seperangkat alat salat, tetapi calonnya meminta harus pakai mahar seperangkat alat salat. Apakah saya harus mengikuti permintaan calon istri saya dengan terpaksa? Atau saya harus mengikuti hati saya yang tidak memakai mahar seperangkat alat salat? Mohon jawabanya
Terima kasih atas pertanyaannya, Mas kali ya, bukan Mbak. Hehe. Sebenarnya saya sempet ikut kajian, mengenai mengenai beberapa teladan yang diberikan Rasul mengenai 'jenis mahar'. Mahar yang dicontohkan lebih ke barang yang bisa disimpan dan/atau dipakai untuk kelangsungan hidup. Nah, mengenai perasaan "berat" atas mahar seperangkat alat shalat, saya jadi tanda tanya, bukankah seorang laki-laki memang tanggungjawabnya menjadi imam bagi istrinya ya? termasuk memberikan pendidikan, hehehe. Lha kok malah takut? Mungkin bisa dirapihkan dan dikumpulkan lagi niatnya. :) Semoga menjawab dan bila ada tanggapan silahkan~
Sedikit tambahan lagi, setelah menikah sebenernya insyaAllah saling "belajar" dan saling "mendidik". Jadi............saya rasa nggak perlu ketakutan berlebih mengenai mahar seperangkat alat shalat, karena implementasinya ya ibadah ke Allah, dengan pace masing-masing....
Penanya kedua dari mbak @sekar bundabijaksana.com
[6/5 21.55] Diskusi Pustaka Saga: Bagaimana ketika kita dan calon pasangan ingin acara pernikahan yg sederhana saja sedangkan orang tua (salah satu pihak atau keduanya) ingin acara yang "wah" ?
[6/5 22.01] +62 816-566-331: Terima kasih Kak Sekar.
Sebelumnya, ada yang terlewat, dari survey saya di IG, Sekar juga menambahkan keutamaan menikah d Gedung adalah supaya ga nutup jalan, kalo nutup jalan dan sampai benar2 mengganggu masyarakat dengan soundsystem yang kencang, khawatirnya nggak berkah. Nah, bs jadi pertimbangan juga ya, supaya kalo di rumah bisa tetep *menjaga perasaan* tetangga~~~
Oke, menjawab pertanyaan Sekar, komunikasi di awal sebenarnya perlu. Ketika sudah menetapkan lamaran, perlu banget buat menetapkan konsep acara pernikahan, dan "keterbukaan dengan kondisi finansial masing2" saat itu. Ada beberapa orang yang punya privilese, dimana acara resepsi/walimah nya dibantu secara finansial sama kedua orangtua mereka, dan itu nggak salah. Tapi jika kondisi pertanyaan ini adalah sekadar meminta acara "wah" tanpa bantuan, saya pribadi lebih ke terbuka sejujurnya sama kedua orangtua (dan calon ortu) bahwa ada yang lebih penting dari hari H, yaitu hari-hari kedepan setelah menikah. Sesungguhnya, kejujuran dapat menangkal semua malapetakaa~ begitu lagunya hehe. Dan ini memang terjadi juga di saya, tapi di keluarga besar calon suami saya saat itu. Tapi dengan keterbukaan dan kejujuran masing2 alhamdulillah mereka bisa menerima dan semua baik baik saja.~ mudah2an menjawab ya Karzzz
[6/5 22.05] Diskusi Pustaka Saga: Saya lanjt ke penanya berikut ya
[6/5 22.05] Diskusi Pustaka Saga: Makasih mbak valin sharing ilmunya! Saya Ria, ijin bertanya yaa mbak... how to deal w/ different love language between our partner? Ini salah satu yg sering jadi kendala sih.. kayaknya gampang, tapi kenyataannya nggak, sampe bikin capek hehe.. mohon pencerahannya 🙏🏼
[6/5 22.13] +62 816-566-331: Salam kenal Mbak Ria, terima kasih atas pertanyaannya. Sebagaimana lima bahasa cinta ( Kata-kata Apresiasi, Waktu Berkualitas, Hadiah, Pelayanan/Pertolongan, Sentuhan Fisik) kita dengan pasangan kita sangat mungkin sekali berbeda, begitu juga saya dan suami, bedanya bener2 beda sampe ga bisa dipikir lagi hahaha. Ternyata yang menenangkan memang memahami saja itu sebagai fitrahnya manusia. Hal kedua yang bisa saya sampaikan, balik lagi ke: Komunikasi dan Keterbukaaan. Pas lagi santai2nya/ga tegang dengan tekanan kerjaan, biasanya saya memulai cerita bahwa saya sebenernya suka ....., yang mana kayaknya kurang keliahatan deh di bahasa cinta suami saya. Nah, sebenarnya bahasa cinta ini nggak se-mutlak kepribadian ya, sifatnya jauh lebih dinamis dan bisa kompromi, jadi selama buat menyenangkan pasangan, kenapa tidak belajar menyesuaikan pelan-pelan saja? heheh. Semoga menjawab ya Mbak
[6/5 22.25] +62 816-566-331: Hehehe, sebal adalah reaksi normal ketika menghadapi hal-hal di luar ekspektasi, termasuk ke pasangan kita. Balik lagi ke tujuan menikah di awal, kira2 dari seribu kenangan dan seabrek peristiwa bersama, layak nggak kita sebal terlalu lama sama pasangan? Hehehe yang saya rasakan justru malah buang-buang waktu. Jadi kembali lagi ke tujuan menikah, re-call kenangan-kenangan manis bersama pasangan, dan cari momen yang tepat buat ngobrol + ungkapkan harapan2 kita disana. Mudah2an menjawab ya Mbak
[6/5 22.46] +62 816-566-331: Sebagai closing statement, saya ingin mengutip quotenya Fahd Pahdepie dalam bukunya yang berjudul ~Nasihat~ Cerita Sebelum Bercerai:“ *Kita tidak saling mencintai karena hal-hal besar dan megah semacam itu*. *Kita terus mencintai seiring waktu karena hal-hal kecil di keseharian kita* ”.
Seringkali, perasaan cinta kepada keluarga (Orangtua, Pasangan, Anak, Kakak, Adik) itu justru semakin menguat ketika kita menikmati hal-hal sederhana, tapi bersama-sama. Contoh, waktu kecil, hal apa yang sampai saat ini akan selalu bahagia bila dikenang? Kalau saya, melihat Bapak mengambilkan buah mangga di depan rumah lalu dimakan bersama di ruang tengah. Mendengarkan cerita kakak saya ketika jadi anak baru di sekolah dasarnya (lalu membayangkan nanti kalau saya sudah SD gimana ya, akankah seseru kisahnya juga, karena saat itu saya masih TK, dan mbakyu saya anak baru kelas 3 SD), atau menemani Mama menyirami tanaman di halaman rumah, sambil bilang, "nanti kalo rambutmu rontok terus, ibuk petikkan lidah buaya ini ya,"
Begitu juga dengan *pasangan kita*. Melalui hal-hal sederhana dalam keseharian kita itulah barangkali kita semakin sayang. Misal, mengaji bersama, secangkir kopi untuk berdua (karena tinggal satu sachet dan pada mager beli wkwk, tapi kita tetap menikmati bersama). Juga, kepekaan suami menyiapkan makan sahur saat saya sakit kemarin (buat rukuk saat shalat aja sakitnya bukan main), melihat ekspresi bahagia suami ketika mencicipi tumisan sayur buatan saya (dengan bumbu dan bahan yang sungguh seadanya, alias yang tersisa di kulkas). Semoga kita bisa selalu mensyukuri hal-hal yang seolah "biasa", karena sejatinya, nikmat kebersamaan tidak bisa diganti dengan apapun. Sekian dari saya, terima kasih banyak atas kesempatan sharingnya, mudah-mudah Allah ridha dengan diskusi kita malam ini, dan mohon maaf lahir dan batin bila ada hal yang kurang berkenan. Wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar