[16/5 21.20] Min Bookmar: Assalamualaikum wrwb. Selamat malam, kawan-kawan. Semoga dalam keadaan sehat, dan dilancarkan segala aktivitas ibadah ramadhannya.
Senang sekali bisa bersua dalam diskusi kali ini.
Izinkan saya, Ahmad Risani, memaparkan sedikit pemahaman saya mengenai "Aktivis dan Post Power Syndrome". ✔️
[16/5 21.22] Min Bookmar: Saya sebetulnya kaget saat dihubungi mas Iqbal kala menawarkan tema ini. Saya amati, memang jarang sekali tema semacam ini diangkat. Bahkan selama saya "berkegiatan" di dunia aktivisme, tema ini seperti tersimpan rapat.
Mungkin ada yang berpendapat sama? π
[16/5 21.23] Min Bookmar: Tapi, akhirnya saya sejenak merefleksi diri. Dan .... Ya! Ternyata banyak juga fenomena aktivis yang mengalami keadaan Post Power Syndrome—baik dalam skala kecil atau besar—saat melewati masa-masa transisi dalam fase hidupnya.
[16/5 21.24] Min Bookmar: Kita mulai dari Apa itu Post Power Syndrome?
........
[16/5 21.25] Min Bookmar: _Post-power syndrome, adalah gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini._
Dalam skala yang lebih luas, Post power syndrome kerap datang saat karir meredup atau usia mengharuskan seseorang pensiun. Itu sebabnya, sindrom yang satu ini kerap dialami oleh mereka yang sebelumnya aktif bekerja atau punya jabatan cukup tinggi di perusahaannya.
Dalam skala kecil—sesuai tema kita— *aktivis*, juga mengalami hal demikian. Rutinitas organisasi yang riuh dan usia pelakunya yang masih dalam tahap transisi—quater life crisis—cenderunh mengalami sindrom ini. Meskipun kadang tak ~diakui~ disadari.
[16/5 21.28] Min Bookmar: *Mengapa aktivis juga rentan mengalami ini?*
Akar masalah dari _post power syndrome_ adalah saat seseorang tidak siap menerima perubahan dalam dirinya. Bayang-bayang kekuasaan dan otoritas yang sebelumnya dimiliki masih melekat dan orang tersebut tidak bisa menerima perubahan dengan baik.
☕Dunia aktivisme, mau tak mau juga harus kita akui sebagai _ruang hierarkis_. Ada tingkatan struktur di dalamnya. Seluruh dimensi kehidupan yang hierarkis pasti akan menciptakan _spesialisasi otoritas_. Dan.. posisi menentukan otoritas. Ini latar belakang pertama. π
[16/5 21.29] Min Bookmar: _Dalam pengamatan saya, setidaknya ada 5 yang melatarbelakangi terjadinya post power syndrom aktivis... ☕_
[16/5 21.31] Min Bookmar: ☕Kedua, dunia aktivis adalah dunia populer di lingkungan mahasiswa. Tak jauh beda dengan politik praktis yang populis dan banyak pengikut, walaupun dalam skala kecil. Perlu kesiapan mental yang kuat untuk masuk menjadi bagian dari dunia yang terkesan keras dan idealis ini.
Di balik kerja-kerja sosial dan penetrasi politik yang dilakukan aktivis, ada tabir yang harus disingkap yaitu rasa narsisistik dan megalomania.
[16/5 21.33] Min Bookmar: ☕Ketiga, ketika seorang aktivis meninggalkan jabatan (amanah) di organisasi, saat itu ia merasa sedang memisahkan diri dengan relasi yang ia bangun selama ini, beserta pemikiran-pemikiran, dan program-program kerja yang pernah dilakukan.
Berpisah dengan hal demikian lebih berat ketimbang berpisah dengan organisasi itu sendiri. Sebab, dengan ide-ide yang didengar, program-program yang diaparesiasi, dan relasi yang baik-lah seorang aktivis merasa ada. Eksistensi dirinya menyala. Hidup. Bukan karena harta atau popularitasnya.
[16/5 21.35] Min Bookmar: ☕Keempat, sistem. Bahwa sistem di luar diri aktivis telah menyeret aktivis berubah menjadi pragmatis yang miris. Ia terjebak dalam mekanisme sistemik dalam praktik politik transaksional dan oligarkis yang parah. Misalnya, begitu aktivis memasuki arena politik (saat diorganisasi) ia dihadapkan pada sistem politik transaksional ini. Ketika ia terjebak pada sistem, saat itulah ia menyerah pada politik transaksi.
[16/5 21.37] Min Bookmar: ☕Terakhir, yang sering terjadi di kalangan aktivis sehingga menyebabkan PPS, yaitu
*Obsesi Politik* yang menggebu-gebu. Hasrat kekuasaan yang besar tanpa diiringi kesiapan diri dari segala hal—kompetensi, kepemimpinan, logistik, relasi, dll—akan membuat mahasiswa rentan frustasi.
......
[16/5 21.38] Min Bookmar: πInilah 5 hal yang perlu kita sama-sama perhatikan untk mengantisipasi potensi PPS.
[16/5 21.39] Min Bookmar: *Dampaknya?*
_Sindrom ini sebetulnya sesuatu yang wajar._ Semua orang dengan tingkatan tertentu juga akan mengalaminya.
Namun, akan berbahaya bila dibiarkan tanpa penanganan.
post power syndrome sangat mungkin memunculkan gangguan pada diri yang bisa dibedakan menjadi:
Gangguan fisik: mudah jatuh sakit dan tampak tidak bersemangat melakukan aktivitas-aktivitas positif.
Gangguan emosional: sifat mudah tersinggung, pemarah, hingga tidak terima dikritik oleh orang lain.
Gangguan perilaku: gangguan yang muncul dalam bentuk sifat lebih pendiam atau justru tidak bisa berhenti berbicara tentang kehebatannya.
..... ✔️
[16/5 21.41] Min Bookmar: Silakan dibaca-baca dulu, kawan-kawan sekalian... sebelum kita lanjutkan ke _cara mengatasinya_.
[16/5 21.45] Min Bookmar: *Bagaimana mengatasinya?*
Hal pertama yang harus dilakukan adalah kembali kepada *niat lurus*. Memperbaharui ini niat saat pertama kali berkiprah di organisasi hingga akhirnya selesai menjalan amanah. Bila orientasinya rusak maka rusak pulalah amal.
Kedua, *berdamai dengan diri sendiri* dan kekurangan yang muncul pasca demisioner. Bahwa tak selamanya diri kita memiliki hak istimewa (previlese).
Ketiga, *mengembangkan potensi lain* yang berhubungan dengan *passion atau akademik*. Misalnya dengan penguatan profesi diri, berbisnis, atau bisa juga dengan menulis.
Keempat, bila masih ingin berkontribusi lewat organisasi, maka bergabunglah dengan *organisasi tingkat lanjut*. Bila perlu masuk *partai politik* (kalau memang harus). Agar ide-ide perubahan dapat diejawantah dalam lingkup yang lebih luas (regulasi dan kebijakan).
Atau bisa saja dengan *membuat komunitas* sendiri dengan cakupan kerja yang lebih spesifik dan sederhana.
Kelima, tetap membangun *komunikasi dengan para penerus*. Jadilah pemberi nasehat yang baik. Keberadaan kita bukan untuk mengusik, tapi memberi semangat kepada mereka, agar belajar dari pengalaman anda.
........ ✔️
[16/5 21.47] Min Bookmar: Barangkali, begitulah lebih kurang pembahasan kita, kawan-kawan.
terimakasih atas waktunya, saya serahkan kepada saudara moderator, mas @Diskusi Pustaka Saga π
[16/5 22.22] Diskusi Pustaka Saga: Mustofi Lampung
Karena ak tipe 5 dan berusaha bisa ke 4, ini kan msh dilakukan (dalam proses perbaikan komunitas yg lebih spesifik dan sederhana), pertamanya sudah punya mimpi untuk masadepan komunitas ini, tp
1. pesimis sama mimpi semula, ngerasa telat buat ngejer itu, gk siap juga buat tesiko gk ngejar itu, kadang gk yakin sama mimpi yg semula akhirnya dalam proses semua dibawa, semua digeluti.. Jadi kayak balik lagi ke proses pencarian jati diri untuk cari sbnernya spesifikasi yg bagaimana dan seolah bakal ngerombak mimpi awal. Gmna tips memantapkan mimpi semula disaat kita ampir ngerasa jatuh dan gagal
2. Ketika banyak keluar, banyak belajar malah banyak hal yg kayak harus dilakukan dan belum, banyak opsi2 yg menghiurkan terkait masa depan ini, jd makin bingung, harus bagaimana ?
[16/5 22.32] Min Bookmar: Terimakasih atas pertanyaannya, mas Mustofi.
Menarik sekali pertanyaanya.
Sebetulnya, masalah ini banyak dialami oleh orang lain. Kita kadang sulit untk fokus ke satu persoalan yang *spesifik dan sederhana*.
Padahal, dengan segala keterbatasan diri, harusnya ini menjadi acuan _mau ke manakah potensi kita disalurkan?_
Saran saya mulailah untuk "Bersikap bodo amat"... Utamanya pada isu-isu politik dan segala hiruk-pikuk isu lainnya...
Pilih *satu* chord atau value yang ingin kita gagas dari sekian banyak permasalahan yang ada di masyarakat. Dan fokus saja ke bidang tersebut.
Saya sering melihat (membaca) kisah para tokoh-tokoh besar yang mendapatkan apresiasi dari dunia, ada satu hal yang perlu kita teladani dari mereka semua, yaitu *fokus ke satu permasalahan saja* dan fokus, lalu nikmatilah setiap jengkal perjalanannya....
_Justru di saat pasca kampuslah kita dapat menentukan kekhasan diri kita mau menjadi apa, dan menjadi *hero untuk monster jenis apa*_
Begitulah.....
[16/5 22.58] Min Bookmar: *Closing Statement*
Baik terima kasih kepada kawan-kawan semua atas diskusi malam ini. Semoga bermanfaat.
_Dunia kampus adalah dunia permakluman. Ketika seseorang masih disebut mahasiswa, saat itu dia sedang menjadi primadona Intelektual. Penghargaan atas karya akan mudah didapat. Setiap pendapat—meskipun dangkal—tetap didengar. Ia muda dan berenergi. Sorot lampu mengarah padanya. Terlebih bila ia seorang aktivis._
_Namun, pasca kampus, kita akan menemukan dimensi lain dari kehidupan: realitas yang kompleks. Bukan berarti saat masih mahasiswa kita belum bertemu realitas, hanya saja kompleksitas itu baru didapatkan setelah seorang anak muda menjadi bagian utuh dari masyarakat._
_Di saat seperti inilah, post power syndrom itu mengintai: frustasi pada pekerjaan setelah wisuda, jabatan organisasi yang sudah selesai, relasi yang menjauh, obsesi politik yang menggebu-gebu dsb—menjadi momok bagi seorang aktivis muda._
_Untuk itu, tetaplah selalu perbaharui niat, bahwa segala yang kita lakukan semata-mata lillahi ta'ala._
_Jadikan generasi setelah kita sebagai penerus saja, bukan pengganti. Sebab kita akan selalu ada dalam medium gerakan yang lebih luas._
Sedikit pengingat:
_Anak-anak muda macam kita, jangan terburu-buru naik ke panggung. Tak ada kata terlambat untuk tampil ke muka. Persiapkan ideologi, amunisi, kompetensi, baru ekekusi. Usia seperti kita ini bahaya bila terlalu obsesif pada kekuasaan. Pelan-pelan saja, tapi pasti._
*Tetaplah Bergerak Tuntaskan Perubahan!*
Ahmas Risani
IG: @ahmad_risani
FB: Ahmad Risani
08979993773
Wassalamu'alaikum wrwb. π
Tidak ada komentar:
Posting Komentar