Uswatun Hasanah Fitria

Jumat, 22 Maret 2019

PS/ 1 Senjakala Islamic Book Fair Malang

BELAJAR BERSAMA KITA

PS = PUSTAKA SAGA
[22/3 20.38]


oke mulai luangkan waktu menyimak ya.
eh saya tantang dah, kira-kira 15 menit cukupkan membaca materi berikut ini
atau nanti jika lebih cepat atau lambat maka komen saja ya.yuhu  pemateri memaparkan.

"Senjakala Islamic Book Fair Malang"

Bulan Agutus tahun 2013 saya memasuki kota Malang. Dua bulan setelahnya di tahun tahun itu pula, saya ingat merangsek sendirian ke gelaran Islam Book Fair Malang 2013. Sedikit minat pada buku yang terbawa dari kampung halamam minim toko buku jadi alasannya. Sendirian sebab, waktu setelah itu, jadi kebiasaan mengajak teman atau adik angkatan di kampus untuk bersama-sama sekaligus, mencari buku keislaman di gelaran-gelaran selanjutnya.

Hal yang paling saya ingat waktu itu adalah, buku yang berjibun dari dalam aula Skodam Brawijaya Malang (bukan kampus UB) sampai luar pelataran. Hanya sedikit stan pakaian dan sedikit meja jajanan. Melekat pula di ingatan, bahwa IBF Malang pasti digelar sebelum Ramadhan atau jelang akhir tahun. Dua waktu ini menjadi waktu penantian yang cukup mendebarkan. Seperti persiapan mengisi dan memecah tabungan yang cukup banyak untuk kemudian dibelanjakan buku pada saat yang tepat. Sebab belanja online belum begitu mengemuka.

Buku-buku Pro-U Media, Era Intermedia, Rabbani Press, GIP, Al-Kautsar, juga Mizan menjadi buruan tersendiri. Sebagian di antaranya sulit ditemui di toko buku besar. 
IBF adalah tempat perjumpaan para anak muda, termasuk di dalamnya mahasiswa baru yang haus akan asupan keislaman. Khususnya buku-buku dari penulis yang karyanya sedang naik daun macam Salim A Fillah, atau yang sulit dicari macam Anis Matta, juga bacaan pergerakan Islam macam Risalah Pergeralan Ikhwanul Muslimin dan Sirah Nabawiyah. Buku-buku yang tidak dijual di Gramedia tentu saja. Benar-benar pertemuan antara kehausan yang memiliki jarak jauh dengan peleganya, yaitu waktu, ketidaktersediaan di pasaran, dan dua momentum di atas.

Enam tahun berlalu. Saya sempat melihat pergelaran IBF di kota lain semisal Jogja dan Surabaya. Tidak jauh beda, masih menggairahkan. Jogja merupakan tempat yang dekat dengan penerbit-penerbit besar sekaligus banyak cendekiawan Muslim atau ustadz penceramah terkenal yang berlimpah.  Sementara Surabaya juga merupakan kota besar dengan banyak kampus. Bahkan IBF Malang dan Surabaya jadi tempat kunjungan kawan-kawan dari Jember, Blitar, dan sekitarnya. Sebab di Jawa Timur hanya di Malang dan Surabaya yang menggelar.

Cukup. Itu dulu. Hari ini beda cerita. Bukan cerita perihal tempat penyelenggaraannya. Melainkan rasa, substansi, dan perannya. IBF Malang yang selalu diadakan di kompleks aula Skodam Brawijaya, pinggir bunderan kota Malang, berdekatan dengan kantor pemerintahan kota Malang itu, tidak berpindah selama belasan tahun. Tempat yang selalu sama ini hanya menegaskan kelemahan, alih-alih simbol yang layak dipuji.

Hari ini beda cerita, lapak buku yang dahulu bejibun di aula dalam dan luar, bahkan sampai ruangan lain di dekat panggung luar aula yang penuh, kini sudah tidak sama. Dua tiga gelaran terakhir, lapak buku sudah menyusut. Di luar sudah tidak ada buku. Bahkan, di aula dalam pun, lapak buku sudah berkurang. Hanya beberapa stan penerbit dan distributor besar yang masih bertahan. Naasnya, di aula dalam yang semestinya menjadi hajatan buku, malah saya temui sempat diisi lapak panahan dan baju. Tragis sekali. Hal yang paling kentara adalah lapak baju koko dan jilbab yang semakin bertambah banyak. Di luar penuh, tidak cukup, kain-kain itu pun merangsek ke dalam menggeser kertas.

Tahun lalu, malah ada hal menggelikan. Seorang teman yang menggemari sejarah kelam 1965 kegirangan. Ia menemukan stan Media Pressindo dengan buku-buku sejarahnya, wacana Kiri. Bukan apa-apa sebenarnya. Tetepi, lebih pas disebut keganjilan penyelenggara yang tidak bisa menarik penerbit Islam lain. Meski saya sempat senang tahun lalu juga dengan kehadiran stan Risalah Nur dari Ciputat. Sayang, nampaknya penggemar Said Nursi itu tidak kuat dengan pasar yang ada.

Penyusutan jumlah lapak buku, dan melebarnya lapak pakaian, sudah memberi tanda kekalahan buku atas pakaian. Teks pikiran kalah dengan busana tubuh. Gairah keislaman bisa dibilang dimenangkan oleh citra perayaan luaran diri manusia daripada peneguhan dalam diri manusia. Padahal bila melihat nilai harga barang, tentu saja busana tidak lebih murah daripada buku. Busana bisa dikorting sekian meskipun nilainya bisa juga naik berlipat tanpa patokan, sedangkan buku sudah dipatok dengan korting yang memaksa tekan keuntungan. Buku di IBF kini, tak lain seperti tamu di rumah sendiri.

Gairah tampilan keislaman lewat busana berbarengan dengan tren hijrah memang tidak bisa disalahkan. Di satu sisi, ini barangkali capaian bagus umat Islam. Tinggal tugas penyeru dan pendidik umat yang menandaskannya, merasuk sampai jiwa Muslimin. Tapi, justru di sinilah benturannya dengan gelaran Islam Book Fair. Tugas pendidikan yang seharusnya diemban, malah seolah ditanggalkan demi rupiah semata. Toko dan etalase online pakaian Muslim sangat banyak bertebaran di mana-mana, mengapa perlu juga dihadirkan di gelaran buku? Memang secara mendasar, gelaran buku selayaknyalah yang utama, sedangkan pakaian hanya peramai. Namun kini sebaliknya!

Perubahan luaran IBF Malang ini, tetapi mungkin juga di kota lain, dari buku ramai menjadi sepi dan dari pakaian sepi menjadi ramai, hanya setengah bagian kemundurannya. Setengah bagian lagi, adalah substansinya. Yaitu ketidakmampuan penyelenggara menjadikan gelaran IBF sebagai perayaan buku. Bagaimana buku dirayakan. Bagaimana tema gelaran dijadikan wacana literasi yang menjadi mesin pendorong kemajuan korpus pengetahuan umat Islam. Bagiamana generasi muda dan anak-anak dekat dengan buku, alih-alih hanya tampilan luar. Perlu diingat, di lain gelaran IBF, muncul gelaran lain yang bernama Islamic Fashion Fair (IFF), khusus busana. Lihat, betapa terjajahnya akal umat Islam yang memberikan harapan pada IBF oleh pemodal busana. Tiada habis-habisanya.

Contoh baiknya, pada Islamic Book Fair Indonesia atau Nasional di Jakarta. Penyelenggara menyediakan wahana bacaan dan tempat bermain anak. Jelas ia hadir sebagai wahana wisata literasi anak. Lain lagi tema-tema yang selalu diangkat tiap tahun. Menghadirkan tokoh nasional baik cendekiawan maupun tokoh pemerintahan bukannya tanpa sebab, seperti tali yang berkait atau gayung bersambut sebab wacana literasi Islam didorong secara bersama-sama. Meski ini hanya sekelebat sepengetahuan saya.

Awal tahun lalu, sebenarnya saya ikut merayakan IBF Malang. Saya memiliki penerbitan buku indie kecil. Bersamaan dengan terbitnya buku Nuun: Berjibaku Mencandu Buku karya Yusuf Maulana, mengiyakan tawaran penyelenggara mengisi salah satu acara di panggungnya. Penulis yang berasal dari Jogja saya hadirkan. Tanpa dinyana, ternyata foto penulis dipasang di poster-poster dan baliho publikasi, besar sekali. Tentu saja menggelikan meski kami tidak keberatan. Maksunya, tidak ada usaha sama sekali dari penyelenggara untuk menyusun tema dan topik pembicaraan selama penyenggaraan IBF Malang. Penulis luar kota seolah dianggap tokoh nasional yang perlu dipampang di baliho promosi. Padahal biasa saja. Artinya lagi, lebih pas dicurigai sebagai IBF yang asal jalan.

Saya tidak mengerti, alam pikiran penyelenggara. Apakah gelaran IBF Malang memang berjalan apa adanya, sehingga pengisi acara diserahkan pada siapa saja yang mau mengisi. Untung bila yang mengisi masihlah pegiat buku. Bila tidak, ya seperti yang akan bisa dilihat, kajian pernikahan, talk show ibu-ibu pengajian, bahkan seminar properti syariah dan mungkin ulasan obat herbal yang menghiasi susunan acara. Benar-banar tak ada tema gelaran yang dikejar, tidak ada wacana literasi Islam yang serius dihadirkan.

Pergelaran IBF Malang yang memprihatikan telah berlalu. Saya lihat stan buku obral Raja Murah mengambil lima stan yang dijadikan satu sekaligus. Buku sudah diobral, semurah harga parkir, IBF tidak lagi menarik. Parkiran pun sepi. Entah dengan omset stan busana di luar.

IBF bukan hanya sekali setahun, tapi tiga sampai empat kali. Tidak main-main sudah sampai gelaran yang ke 33! Tapi seperti saya tulis di atas. Tidak ada rasa, substansi, dan peran IBF Malang untuk melek literasi umat Islam. Bila ada, sulit sekali membekas. Bila sudah begini dan tidak ada maksud baik dan kesadaran penyelenggara, tinggal menunggu pergantian nama menjadi IBF menjadi IFF. Hampir tiada bedanya. Bila terlalu kejam, ada yang lebih halus, di poster promosi lebih baik diberi judul besar-besar: Islamic Fashion Fair - Dilengkapi dengan Stan Buku! Ini adalah pandangan saya tentang IBF Malang. Agar menjadi objektif, mari kita diakusikan, baik yang dari Malang, Surabaya Jawa Timur, maupun kota lain.

[22/3 21.18]
Saya beri waktu teman2 , kita buka sesi tanya jawab nya.
Budi, Surbaya
Di Surabaya shakaa sudah tidak tampak muncul lg ngelola IBF. Skrg yg pegang ikapi. Tp d poster yg ad malah gambar komunitas2 hijrah. Bukan penerbit buku. Gmn Menurut mas Eri?
JAWAB
Islamic Fashion Fair adalah amatan saya tahun lalu. Dalam amatan itu, ternyata perubahan lebih cepat terjadi, lagi. Sebagai event organizer, barangkali memang begitulah tabiatnya, mengikuti selera pasar. Lebih jauh bukan cuma Islamic Fashion Fair ternyata. Tetapi ada lagi, Islamic Fair. Isinya kajian-kajian keislaman dan talk show hijrah dan semacamnya. Tentu saja jangan berharap kajian ilmiah berat. Ia rasanya tidak mau kalah dengan Hijrah Fest yang lebih dulu digelar dan pesertanya berjubel meski berbayar mahal.

Ini hanya semakin menegasakan bahwa buku, bukan hanya ditepikan oleh busana, kertas digeser kain. Melainkan juga digusur ustadz artis dan media sosial. Semuanya dalam amatan saya masihlah gairah keislaman luaran.


 Baik, kita lanjut ke penanya terakhir
Nurul Iftitah, Banjarbaru, Kalsel.

1. Menurut mas, gimana menumbuhkan kembali suasana IBF seperti dahulu kala? Apa yang bisa dilakukan oleh pencinta IBF?
2. Menurut mas, promosi yang pas, gk lebay tapi tetap menarik orang-orang datang bagaimana?
Terima kasih

JAWAB‬:
Apakah kita bertanggung jawab atas kondisi IBF yang demikian? Saya rasa tidak. Jadi jangan merasa memiliki beban itu. Atau lebih jauh, sebenernya siapa yang bertanggung jawab atas tidak bergairahnya perbukuan di sebuah kota? Dinas Kebudayaan kota? Perpustakaan Daerah kota? IBF yang sebenarnya sekarang bisa dilihat sebagai EO murni di belakangnya?

Ini semua kembali pada pasar, pengunjung IBF, uutama umat Islam. Tetapi kepada penyelenggara, kritik sekecil apapun seharusnya tetap memiliki fungsi.
Agaknya, hari ini kita harus belajar dari gelaran buku lain. Ini agar kita berkembang jauh maju. Bukan bergerak mundur. IBF dari masa ke masa apakah ada kemajuan? Dari segi wacana? Dari segi penerbit buku, dari segi jumlah buku? Tidak.

Gelaran buku yang disebut festifal atau pameran itu bukan bazar yang cuma jualan saja. Paling besar di dunia adalah konsep Frankfurt Book Fair. Model lain yang membawa bukan cuma wacana melainkan kualitas pegiatnya ada misalnya Ubud Writers Festival (ada juga Borobudur). Seharusnya berpikirnya agar berkembang bukan cuma model jualan.

Bila pertanyaannya hanya begitu, kita bisa lihat jauh lebih ramai dari IBF lokal, misalnya Kampoeng Buku Jogja, Mocosik Festival, dan yang terbaru Festival Literasi Patjar Merah di Jogja semuanya. Itu perpaduan antara visual, marketing kelas promotor nasional dan dunia, musik, seni, dan dunia perbukuan yang bagus.

[22/3 22.26] 
‪+62 858-2086-9622‬:
Mau meminta pandangan dari mas lagi.
Beberapa Minggu lalu saya melihat postingan dari orang lain. Yang mana inti kalimatnya "Sebenarnya pecinta buku banyak sekali, hanya saja bukunya masih sulit di akses terutama untuk bagian pelosok, dan harusnya Indonesia gk menempati urutan 60 dari 61 negara pengiat literasi"
Menurut mas, apakah hal tersebut benar adanya atau itu hanya karena melihat potret di salah satu tempat bazar buku yang didatangi bejibun orang saja?
JAWAB
Persoalan tidak meratanya akses buku memang benar. Jangan buku peranti buku, pendidikan saja yang berdimensi lebih besar belum merata ke pelosok-pelosok. Ini konon bisa teratasi dengan pembangunan infrastruktur transportasi, tapi nyatanya hari ini malah semakin mahal. Semua ide kalah dengan korporat transportasi udara dan tol.
..
 Ada beberapa ide yang bisa didesakkan ke pemerintah. Seharusnya pemerintah memberi perhatian yang lebih jauh lagi setelah UU Perbukuan. Misalnya subsidi kertas agar harga buku jadi murah. Anggaran untuk pengarang dan penerjemah agar karya tulis bergerak pesat.
..
Ada ide dari Muhiddin M Dahlan soal toko buku yang tidak merata. Di Indonesia ini amat banyak tempat yang tidak bisa dijangkau toko buku, namun tempat-tempat itu semuanya bisa dijangkau oleh salah satu BUMN, misalnya adalah Kantor Pos. Menjadikannya sebagai etalase buku dengan berbagai konsep subsidi pemerintah adalah ide cemerlang.
 Survei 60 dari 61 itu dari luar. Metode, data, dan alat ukurnya tidak jelas. Kita tidak bisa merebut data itu. Tidak ada lembaga dalam negeri pula yang melakukan riset semacam secara serius. Jadi ya tidak jelas.

WAH TRIMAKASIH TELAH MENYIMAK
SEMANGAT TERUS UNTUK KITA SEMUA

[22/3 21.07]
‪+62 856-4996-5349‬: 

Tidak ada komentar: