Uswatun Hasanah Fitria

Minggu, 08 September 2019

R-UU P-KS KAMMI Sumut

Hasil Diskusi online
.
Berikut CV pemateri diskusi kita malam hari ini
πŸ‘‡πŸ»πŸ‘‡πŸ»πŸ‘‡πŸ»πŸ‘‡πŸ»

πŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸŒΊπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒ

*NAMA:* *MIRA FAJRI*

*PENDIDIKAN:*
- FH Univ Brawijaya, Konsentrasi HTN.
- Pendidikan Auditor Hukum terakreditasi, JSLG.
- Asia Pacific Internet Governance Academy, Seoul, Korea.
- Fellow Asia Pacific Top Level Domain 75, Dubai, UEA.
- Fellow 10th Asia Pacific Regional Internet Governance Forum, Vladivostok, Russia.

*PEKERJAAN:*
- Staff Hukum Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) - pandi.id
- Bendahara Internet Development Institute (ID Institute) - institute.id

*Pengalaman Organisasi:*
- Dewan Senat Mahasiswa FH UB 2013
- Menteri Koordinator Bidang Sosial & Politik EM UB 2014
- Direktur Lembaga Kajian Hukum PP KAMMI
- ccNSO ICANN Meeting Strategy Working Group
- Kadiv Kajian ITJ Jakarta

πŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸŒΊπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒπŸƒ

Untuk pembukaan diskusi, saya ingin mengemukakan persoalan semesta dalam isu seksualitas sbgmn sy ilustrasikan dalam gambar.
Seksualitas di dalam KBBI adalah:
1. n ciri, sifat, atau peranan seks
2. n dorongan seks
3. n kehidupan seks
Hal inilah yang sedang ingin kita bicarakan serta hal terkait inilah yang coba sedang dirumuskan pengaturannya di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
Kekerasan Seksual dan Kejahatan punya irisan. Banyak kejahatan seksual yang mengandung unsur kekerasan seksual. Misalnya pelecehan, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi. Kesemuanya ini perbuatan jahat yang mengandung kekerasan (paksaan).
Apa itu kejahatan? Di dalam doktrin hukum pidana, kejahatan punya unsur utama melanggar “nilai” dalam masyarakat. Ada nilai hidup yang kalau dilanggar disebut “penghilangan nyawa orang”. Ada nilai harta yang kalau dilanggar disebut “pencurian, perampasan, dst”. Serta ada nilai martabat yang dilanggar disebut “pemerkosaan, pelecehan, dst”. Ini kejahatan, yang bisa memuat nilai kekerasan maupun tidak.
Apa itu kekerasan? Kekerasan, terutama yang banyak disebutkan oleh para pengusung RUU P-KS adalah sifat “paksaan”. Apapun yang punya nilai memaksa adalah kekerasan. Mendidik anak nakal yang tidak mau sholat dengan cara tidak dibolehkan keluar rumah adalah kekerasan. Tapi apakah kejahatan yang patut dihukum? Dari perspektif kekerasan ini, makanya di dalam RUU P-KS yang dihukum adalah pemaksaan pelacuran bukan pelacuran, yang dihukum adalah pemaksaan aborsi bukan aborsi, yang dihukum adalah pemerkosaan yang tidak berbatas jenis kelamin bukan pemerkosaan yang selama ini kita pahami. Mengapa? Karena bagaimanapun caranya apabila mengandung kekerasan, itulah yang harus dihukum.
Mungkin uraian ini bisa menjadi pembuka dalam memahami bahwa RUU P-KS membuka jalan pengaturan seksualitas yang “permisif”. Bagaimanapun saja boleh, apa saja boleh, asalkan tidak ada paksaan.
Lebih parah lagi, RUU P-KS bukan hanya memuat materi pengaturan tentang aturan pidana tapi juga pendanaan APBN, pendidikan, sosialisasi, penyuluhan masyarakat, pemulihan “komunitas”, dst. Bagaimana nasib generasi mendatang? Saya pikir ini bukan pertanyaan berlebihan untuk menggambarkan keresahan saya dan juga keresahan orang2 bermoral dan beragama yang mengenali dampak signifikan dari RUU P-KS.
.
Inisiasi atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dimulai pada tahun 2016 pasca diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. RUU P-KS untuk selanjutnya masuk ke dalam Prolegnas 2015 – 2019 dan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, 2017, 2018, 2019. Saat ini, pembahasan mengenai RUU P-KS ini ada di tingkat Rapat Komisi VIII DPR. Sebagai keterangan, pembahasan RUU memiliki dua tingkat pembahasan yaitu pembahasan tingkat I dan pembahasan tingkat II. Pembahasan tingkat I ada pada rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Pembahasan tingkat II ada pada rapat paripurna yang secara sederhana hanya merupakan pembahasan untuk persetujuan atau penolakan RUU. RUU yang disetujui dalam pembahasan tingkat II untuk selanjutnya disahkan sebagai UU. Penarikan atas RUU yang telah dibahas, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama Presiden dan DPR RI.
.

Saat ini juga kita berharap pembahasan tingkat I di Komisi VIII DPR RI (tepatnya di Panja RUU P-KS) dapat dihentikan sehingga RUU P-KS ini tidak sampai masuk ke paripurna.
.
Menurut kelompok kajian AILA dan INSISTS, pengusul RUU ini adalah kelompok yang sama dengan kelompok yang menolak perluasan pasal perzinaan dan perkosaan pada pengujian konstitusional KUHP di MK tahun lalu. Kelompok tersebut utamanya juga yang menolak Raperda tentang Pidana Pelacuran di berbagai daerah. Ibu dan bapak kita ini berpendapat bahwa RUU P-KS adalah perjuangan ideologis yang bertaraf “praksis” yang dilakukan oleh aktivis berpemikiran feminis radikal yang pelembagaannya ada di komnas perempuan dan kelompok pendukungnya.
.
Ini salah satu profil pendukung utama RUU P-KS ini, hehe kalo saya sih setlah nonton ini jadi terbuka pikirannya kenapa ia mendukungnya? Ya karena sesuai dg kecendrungan dirinya dalam memandang seksualitas yang skedar perkara "enak tidak enak" ya, bukan perkara bermartabat, berkeluarga dan berkemanusiaan

Buat yang ikhwan mgkn tontonan ini terlalu terbuka jadi berbahaya ya eheheheh

.

Dalam penelaahan ane, pro kontra dalam RUU P-KS adalah kelanjutan dari pro kontra pada UU Anti Pornografi pd th 2017 dan UU KKG pada th 2013. Kita dr kalangan Islam selalu berhadapan dg orang yang sama, yaitu kelompok feminis.
.

Kekerasan seksual dalam rumusan RUU dimaknai sebagai “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Kata kuncinya sebagai berikut:
Perbuatan: merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya
Objeknya: terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi
Sifat kesalahan: secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas
Persyaratan sifat kesalahan: karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender
Pembuktian kesalahan : berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Ada yang punya pendapat tentang rumusan normative ini?

bisa pada kasi pandangannya ya nanti :)

Secara garis besar, diskursus ini tentang "preferensi perlogikaan" dalam membangun regulasi dalam konteks *seksualitas masyarakat*. Gambaran diskursusnya saya pikir bisa diambil garis terangnya pada perbedaan antara yang memandang *pemerkosaan sebagai kejahatan seksual yang melanggar nilai martabat orang* atau *pemerkosaan sebagai kekerasan seksual yang melanggar persetujuan orang*.

Dalam dasar pandangan yang demikian, PP KAMMI kembali mengeluarkan rilis aksi pada 25 agustus sebagai berikut:


Sekian dlu pemaparan dari ane, mgkn bisa lanjut ke tny jawab. ✋🏻☺










Tidak ada komentar: