Uswatun Hasanah Fitria

Selasa, 30 Juli 2019

Diskusi RUU-PKS kupas tuntas


[29/7 20.56]
 +62 896-3160-5796:

Baiklah saya febri selaku moderator akan memandu diskusi malam ini ya tmn"....

Selamat datang di grup diskusi Kupas Tuntas  RUU PK-S Perempuan KAMMI Lampung ☺

Alhamdulillah pada semangat semua ya, grupnya sampe full.. barokah Bandar Lampung πŸ’ͺ🏻Tanpa berlama-lama lagi, saya persilakan kepada Kak Mira untuk menyampaikan materi pembuka.

Silakan Kak Mira 😊
Malem ini siap siap gak ngapa ngapain mau stay grup *Kupas Tuntas RUU P-KS*


Siap, untuk memulai diskusi, saya mau berbagi gambar ini dulu ya

Untuk pembukaan diskusi, saya ingin mengemukakan persoalan semesta dalam isu seksualitas sbgmn sy ilustrasikan dalam gambar.
Seksualitas di dalam KBBI adalah:
1.  ciri, sifat, atau peranan seks
2.  dorongan seks
3. kehidupan seks
Hal inilah yang sedang ingin kita bicarakan serta hal terkait inilah yang coba sedang dirumuskan pengaturannya di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).

Kekerasan Seksual dan Kejahatan punya irisan. Banyak kejahatan seksual yang mengandung unsur kekerasan seksual. Misalnya pelecehan, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi. Kesemuanya ini perbuatan jahat yang mengandung kekerasan (paksaan).

Apa itu kejahatan? Di dalam doktrin hukum pidana, kejahatan punya unsur utama melanggar “nilai” dalam masyarakat. Ada nilai hidup yang kalau dilanggar disebut “penghilangan nyawa orang”. Ada nilai harta yang kalau dilanggar disebut “pencurian, perampasan, dst”. Serta ada nilai martabat yang dilanggar disebut “pemerkosaan, pelecehan, dst”. Ini kejahatan, yang bisa memuat nilai kekerasan maupun tidak.

Apa itu kekerasan? Kekerasan, terutama yang banyak disebutkan oleh para pengusung RUU P-KS adalah sifat “paksaan”. Apapun yang punya nilai memaksa adalah kekerasan. Mendidik anak nakal yang tidak mau sholat dengan cara tidak dibolehkan keluar rumah adalah kekerasan. Tapi apakah kejahatan yang patut dihukum? Dari perspektif kekerasan ini, makanya di dalam RUU P-KS yang dihukum adalah pemaksaan pelacuran bukan pelacuran, yang dihukum adalah pemaksaan aborsi bukan aborsi, yang dihukum adalah pemerkosaan yang tidak berbatas jenis kelamin bukan pemerkosaan yang selama ini kita pahami. Mengapa? Karena bagaimanapun caranya apabila mengandung kekerasan, itulah yang harus dihukum.

Mungkin uraian ini bisa menjadi pembuka dalam memahami bahwa RUU P-KS membuka jalan pengaturan seksualitas yang “permisif”. Bagaimanapun saja boleh, apa saja boleh, asalkan tidak ada paksaan.
Lebih parah lagi, RUU P-KS bukan hanya memuat materi pengaturan tentang aturan pidana tapi juga pendanaan APBN, pendidikan, sosialisasi, penyuluhan masyarakat, pemulihan “komunitas”, dst.

Bagaimana nasib generasi mendatang? Saya pikir ini bukan pertanyaan berlebihan untuk menggambarkan keresahan saya dan juga keresahan orang2 bermoral dan beragama yang mengenali dampak signifikan dari RUU P-KS.

Inisiasi atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dimulai pada tahun 2016 pasca diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. RUU P-KS untuk selanjutnya masuk ke dalam Prolegnas 2015 – 2019 dan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, 2017, 2018, 2019. Saat ini, pembahasan mengenai RUU P-KS ini ada di tingkat Rapat Komisi VIII DPR. Sebagai keterangan, pembahasan RUU memiliki dua tingkat pembahasan yaitu pembahasan tingkat I dan pembahasan tingkat II. Pembahasan tingkat I ada pada rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Pembahasan tingkat II ada pada rapat paripurna yang secara sederhana hanya merupakan pembahasan untuk persetujuan atau penolakan RUU.



 RUU yang disetujui dalam pembahasan tingkat II untuk selanjutnya disahkan sebagai UU. Penarikan atas RUU yang telah dibahas, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama Presiden dan DPR RI. Menurut kelompok kajian AILA dan INSISTS, pengusul RUU ini adalah kelompok yang sama dengan kelompok yang menolak perluasan pasal perzinaan dan perkosaan pada pengujian konstitusional KUHP di MK tahun lalu. Kelompok tersebut utamanya juga yang menolak Raperda tentang Pidana Pelacuran di berbagai daerah. Ibu dan bapak kita ini berpendapat bahwa RUU P-KS adalah perjuangan ideologis yang bertaraf “praksis” yang dilakukan oleh aktivis berpemikiran feminis radikal yang pelembagaannya ada di komnas perempuan dan kelompok pendukungnya.
Gagasan argumentatif atas penilaian ini misalnya bisa didasarkan pada permodelan perumusan norma hukum (di dalam RUU tsb) yang berusaha memisahkannya dengan norma agama dan moralitas. Salah satu pin point adalah jenis-jenis tindak pidana “pemaksaan pelacuran”. Dalam rumusan tindak pidana yang demikian, pembuktian akan diarahkan pada unsur “pemaksaan”-nya bukan “pelacurannya” sambil melepaskan konteks moral bahwa pelacuran itu sendiri terpaksa atau tidaknya adalah perilaku asusila. Pin point lain ada pada politik anggaran yang dimuat dalam RUU tersebut, dimana negara harus membiayai proses penegakan hukum mulai dari visum sampai rehabilitasi. Padahal, implikasi penegakan hukum yang berpotensi besar adalah klaim korban (victimhood) pelaku pelacuran. Politik anggaran juga dimuat dalam konten pengaturan tentang Komnas Perempuan sebagai lembaga pemberi penyuluhan dan pendampingan korban dan saksi. Disini, RUU P-KS ini juga menyimpan dasar bagi penggelontoran anggaran negara (tingkat pusat dan daerah) untuk upaya diseminasi pemikiran feminism. Saya pikir poin-poin pembacaan ini yang membuat penolakan terhadap RUU P-KS terus diperjuangkan.

Dalam aspek pencegahan yang ditujukan bagi masyarakat, mencakup pendidikan yang diterapkan kepada seluruh institusi persekolahan dengan suatu kurikulum tertentu. Di versi sebelumnya digariskan bahwa coordinator dari agenda-agenda ini adalah Komnas Perempuan, tapi di versi yang kemudian, diganti menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Ini juga bagian dari politik anggaran yang tadi saya sampaikan. Saya memandang memang benar bahwa dalam perumusannya, agenda-agenda tersebut sama sekali tidak mengakomodir pintu pandangan tentang pendidikan ketahanan keluarga, agama, martabat kemanusiaan dan seksualitas.

[29/7 21.12] Mb Mira FKH KAMMI:
Rlingkup dalam RUU P-KS adalah penghapusan kekerasan seksual yang derivatnya terdiri atas pencegahan; penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban; penindakan pelaku; serta afirmasi bahwa kesemuanya itu adalah kewajiban negara. Saya pribadi menyimpulkan bahwa ruang lingkup tersebut terdiri atas segala upaya penanggulangan kekerasan seksual yang mencakup statika pihak-pihak terkait, yakni masyarakat, korban, pelaku (perorangan, konteks perlingkungan tertentu seperti korporasi), dan pemerintah.


[29/7 21.12] Mb Mira FKH KAMMI: Kekerasan seksual dalam rumusan RUU dimaknai sebagai “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Kata kuncinya sebagai berikut:
Perbuatan: merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya
Objeknya: terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi
Sifat kesalahan: secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas
Persyaratan sifat kesalahan: karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender
Pembuktian kesalahan : berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Ada yang punya pendapat tentang rumusan normative ini?

bisa pada kasi pandangannya ya nanti :)


[29/7 21.14] Mb Mira FKH KAMMI: Dalam perundang-undangan yang memuat frase “kekerasan seksual” memang tidak dapat ditemukan rumusan yang semacam ini. Salah satu rumusan yang menurut saya paling konkret dimuat di bagian Penjelasan Pasal 4 UU Pornografi. Bahwa “kekerasan seksual antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau permerkosaan.


[29/7 21.14] Mb Mira FKH KAMMI: kemudian rumusan tindak pidana yang diusulkan dalam RUU sebagai berikut:

a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan/atau
i. penyiksaan seksual.


[29/7 21.14] Mb Mira FKH KAMMI: di Lembaga Kajian Hukum KAMMI, kita sudah mulai membuat rilis di bulan februari lalu,

 https://www.kammi.id/2019/02/06/perihal-kontra-ruu-p-ks-kammi-ini-diskursus-soal-hak-hak-kesusilaan/


[29/7 21.16] Mb Mira FKH KAMMI: *Kritik Penalaran Hukum dalam Pembacaan RUU P-KS*
Part I
_Pasal 28J UUD N RI 1945_
_(2) Dalam menjalankan *hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan* yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai *dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum* dalam suatu masyarakat demokratis._

Salah satu perkataan Cicero yang dikenal saat ini adalah _“Salus populi suprema lex esto”_, bahwa keamanan masyarakat adalah hukum tertinggi. Artinya, hukum harus ditemukan, dibangun, ditafsirkan, diterapkan, dan dikembangkan dengan penalaran dan pertimbangan tertinggi untuk mencapai keamanan masyarakat. Konteks eksistensi hukum semacam ini sedikit banyak dapat membuat kita merefleksi metode penggalian hukum Islam yang memiliki tujuan utama (maqashid syar’i) yakni untuk menjaga ajaran Islam, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Keamanan atau keselamatan masyarakat pada kesudahannya, setidak-tidaknya, harus diwujudkan pada keterjagaan aspek keagamaan, nyawa, akal, keturunan, dan hak kebendaan bagi tiap-tiap anggota masyarakat.


Konsep tujuan tertinggi bagi hukum dan keadilan ini sepatutnya menjadi landasan berpikir dalam pembacaan dan pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Sebab, RUU P-KS memuat materi tentang bagaimana negara mengatur aspek seksualitas warga negaranya, yakni suatu aspek perikehidupan yang penting dalam membangun preferensi keselamatan atau kemusnahan pada keadaban dan kemanusiaan.


RUU P-KS bukan hanya berisi tentang klasifikasi tindak pidana dan ketentuan pidana semata. Tapi, RUU P-KS juga memuat aspek pencegahan yang diwujudkan lewat sarana pendidikan, seperangkat hak, seperangkat hukum acara, seperangkat upaya hukum, seperangkat mekanisme penganggaran dan administrasi ketatanegaraan, dan lain sebagainya yang menyangkut konteks komprehensif di taraf perumusan norma hukum, pembentukan lembaga hukum, penyelenggaraan peradilan dan pemulihan ketatamasyarakatan berkenaan dengan aspek seksualitas.


Sehingga untuk melengkapi lajur pertimbangan tentang tujuan hukum, besarnya ruang lingkup bagi tata hukum nasional juga harus menjadi keutamaan dalam memahami implikasi logis yang dapat ditimbulkan oleh RUU P-KS. Kedua poin pertimbangan ini sangat patut didahulukan dibandingkan dengan sekedar mengikuti miskonsepsi bahwa RUU P-KS adalah satu-satunya solusi mutakhir atas bejatnya kasus-kasus kejahatan seksual yang terjadi.

[29/7 21.18] Mb Mira FKH KAMMI:
 *Kritik Penalaran Hukum dalam Pembacaan RUU P-KS*
Part II

Miskonsepsi tersebut menjadi nyata saat menelusuri pernyataan resmi Komnas Perempuan – sebagai perancang RUU P-KS – dalam memberikan tanggapan  terhadap poin-poin pembahasan RUU P-KS. Salah satu poin tanggapan ialah mengenai isi RUU P-KS yang terbatas pada “pemaksaan” padahal diperlukan juga norma tentang penyimpangan seksual. Komnas Perempuan dalam tulisan tersebut menyatakan bahwa RUU P-KS berbasis pada makna “violence” yang merujuk pada makna “tindakan” (pemaksaan, intimidasi, kekuatan emosi yang tidak menyenangkan dan *merusak seseorang*). Dengan menjelaskan bahwa penyimpangan seksual adalah “perilaku” yang ada pada wilayah pendidikan dan himbauan moral, Komnas Perempuan mengiyakan bahwa RUU P-KS hanya perlu memuat tindakan paksa sambil mengabaikan fakta dan materi hukum tentang penyimpangan seksual.


Pertanyaan besarnya, apakah dalam perilaku penyimpangan seksual tidak ada “tindakan” definitif yang bisa dirumuskan sebagai norma hukum? Sebab, setiap tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum pastilah merupakan derivat dan hasil perumusan dari “perilaku” tertentu? Dengan memilih untuk memajukan perbedaan konsep antara perilaku dan tindakan dalam kerangka hukum daripada menjelaskan landasan penalaran materi hukumnya, sebenarnya Komnas Perempuan telah melakukan penyesatan diskursus. Pengabaian RUU P-KS terhadap materi pengaturan mengenai penyimpangan seksual secara terang-terangan dan perlunya RUU P-KS memuat materi pengaturan yang tidak hanya terbatas ditujukan pada tindakan pemaksaan dalam seksualitas adalah dua pokok persoalan yang sedang dibahas namun tidak ditanggapi di dalam tanggapan tersebut.


Padahal, persoalan ketatamasyarakatan di bidang seksualitas memang tidak hanya terbatas pada tindakan yang mengandung unsur pemaksaan, selain bahwa unsur pemaksaan tidak dapat menjadi satu-satunya gantungan/standar dalam konsesi politik hukum pidana. Mengambil rumusan tindak pidana kejahatan terhadap kesusilaan dalam sistem hukum Indonesia saat ini, unsur “pemaksaan” bukanlah unsur penentu bagi definisi atas telah terjadi atau tidak terjadinya tindak pidana. Ada unsur “melanggar kesusilaan”, “di dalam/di luar perkawinan”, serta “pencarian atau kebiasaan” . Menimbang bahwa RUU P-KS memuat materi yang bersifat _lex specialis_ atas KUHP dan berbagai undang-undang lainnya, setidak-tidaknya ketiga unsur-unsur selain “pemaksaan” tersebut sangat patut untuk dipertimbangkan dan dirumuskan kembali. Kita tentu tidak menginginkan suatu hukum yang hanya peduli pada “klaim” rasa keterpaksaan dari spektrum pihak dan jenis perbuatan yang begitu luas. Kita tentu lebih membutuhkan rumusan presisi pada hukum pidana yang tepat sasaran pada persoalan yang kompleks.


Mengambil kembali pemaknaan “violence” yang dimuat oleh Komnas Perempuan di atas, perlu dipahami bahwa “merusak seseorang” secara seksual tidak hanya dapat terjadi dalam tindakan yang mengandung unsur “paksaan”. Terdapat banyak “perusakan” bagi kehormatan dan aspek seksualitas seseorang pada hal-hal yang sukarela dan tidak mengandung paksaan. Contoh terdekat adalah pornografi, sex bebas dengan banyak orang, sex bebas dengan satu orang di luar pernikahan, maupun penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbian, dan varian lainnya.


Pornografi telah banyak diakui secara ilmiah dapat mengakibatkan keburukan pada pecandunya. Mengonsumsi pornografi secara sukarela tetap mengandung kerusakan dalam berbagai derajat. Sehingga secara logis, hanya dengan tidak mengonsumsi pornografi masyarakat dapat terlepas dari berbagai kerusakan spesifik tersebut. Pengonsumsian pornografi selanjutnya harus disadari sebagai rantai paling akhir dari berbagai tindakan penghancuran (eksploitasi) seksualitas orang-orang yang terlibat dalam produksinya baik sebagai pekerja maupun pengusahanya. Rantai paling akhir dari penghancuran inilah juga yang menjadi means dari eksistensi pornografi, yang tanpanya tidak ada bisnis pornografi. Maka, dalam penalaran yang demikian dapat dipahami bahwa negara mengundangkan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) sebagai transliterasi situasi ketatamasyarakatan yang dibina ke arah menghapuskan kerusakan “yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia."
[29/7 21.19] Mb Mira FKH KAMMI: *Kritik Penalaran Hukum dalam Pembacaan RUU P-KS*
Part III

Penalaran dan pengenalan atas transliterasi terhadap situasi ketatamasyarakatan inilah yang juga turut diabaikan di dalam RUU P-KS bersamaan dengan diabaikannya materi hukum di luar “tindakan seksual yang mengandung paksaan”. Kembali membahas contoh di atas, selain pornografi, diketahui bahwa sex bebas dan penyimpangan seksual juga memiliki akibat kerusakan bagi kehormatan dan aspek seksualitas seseorang (masyarakat).


Perbuatan sex bebas dengan banyak orang merupakan penyebab kerentanan atas merebaknya Penyakit Menular Seksual (PMS) . Sex bebas sekalipun hanya dengan satu orang dapat menyebabkan pudarnya institusi kekeluargaan yang menjadi dasar pembangunan masyarakat beradab. Sex bebas memiliki motif pemuasan seksual tanpa itikad menerima konsekuensi kehidupan lanjutan atas kemanusiaan. Oleh karenanya, masyarakat yang mengizinkan seks bebas secara logis harus menyiapkan insentif atas legalitas aborsi dan legalitas prostitusi. Perhubungan antara seks bebas dan penyiapan legalitas aborsi dan legalitas prostitusi adalah suatu penalaran integral yang saling mendukung satu sama lain, yaitu permodelan masyarakat yang menjunjung nilai kebebasan yang bertentangan dengan keadaban masyarakat Indonesia sebagaimana digariskan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD N RI 1945.


Jadi ketika kita sebagai suatu bangsa beradab bermaksud merumuskan dan menyusun suatu ketentuan tentang apa yang perlu dipidana terkait tindakan seksual, apa yang tidak perlu dipidana, bagaimana menjalankan peradilan dalam pemidanaan tersebut, konten pendidikan macam apa yang mendukung bagi penghapusan tindak pidana semacam itu, dan langkah-langkah pemulihan macam apa yang ingin kita jalankan secara integral untuk menghapuskan “kerusakan” di masyarakat, apakah patut mengabaikan jenis kerusakan yang di luar unsur “paksaan”?


Logika penggalian hukum yang mempertimbangkan implikasi perumusan normatif inilah yang harus ditajamkan bagi siapa saja yang keheranan dengan diskursus panjang sekitar pengesahan RUU P-KS. Mengutip Dworkin dalam Law’s Empire ketika diilustrasikannya Hercules sebagai seorang hakim ketika merumuskan putusannya, _“He must rely on his own judgement in answering these questions, of course, not because he thinks are automatically right, but because *no one can properly answer any question except by relying the deepest level on what he himself believes.”*_

Komnas Perempuan, “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme”, https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Tulisan%20Tulisan/Miskonsepsi%20terhadap%20RUU%20Penghapusan%20Kekerasan%20Seksual_Tulisan%20Mariana%20Amiruddin.pdf, diakses pada tanggal 19 Maret 2019.

  Frase “melanggar kesusilaan” dimuat dalam Pasal 281 dan 283 KUHP, makna “di dalam pernikahan” dan “di luar pernikahan” masing-masing dimuat dalam Pasal 284, 285, 286, 287, dan 287 KUHP, frase “pencarian atau kebiasaan” dimuat dalam Pasal 282 KUHP.

  Konsiderans UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

  Ida Ayu Made Sri Anjani, “Identifikasi Agen Penyebab Infeksi Menular Seksual”, Jurnal Skala Husada, Volume 12, Nomor 1, April 2015, http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JSH/V12N1/Ida%20Ayu%20Made%20Sri%20Arjani.pdf, diakses pada 21 Maret 2019.

  Ronald Dworkin, Law’s Empire, London: Fontana Press, 1991, h. 314.
[29/7 21.21] Mb Mira FKH KAMMI: Kalo ditanya apa yang paling saya resahkan dari ruu ini, sebenarnya selain pemidanaannya juga adalah aspek pendidikannya
[29/7 21.21] Mb Mira FKH KAMMI: Jadi, nanti berdasarkan ruu ini, ada program pendidikan seksualitas ke sekolah2 yang tentu harus disesuaikan dg ruh feminis ruu ini
[29/7 21.21] Mb Mira FKH KAMMI: Tapi pendidikan seksualitas yang dimaksud dalam pendidikan feminis sangat jauh seperti yang kita bayangkan
[29/7 21.21] Mb Mira FKH KAMMI: Di dalam.islam ada pendidikan seksualitas untuk anak
[29/7 21.21] Mb Mira FKH KAMMI: Mgkn nanti adik2 bisa cek akun2 aneh di instagram dan youtube yang mempromosikan kesehatan seksual tapi sebenernya mempromosikan free sex? Seperti akun sisilism atau tabu.id
Ini adalah ideologi dan prakteknya, bukan sekedar terbatas rumusan pasal...


[29/7 21.21] Mb Mira FKH KAMMI:
Sebagai tambahan, boleh nih iseng2 dengerin podcast ttg feminisme di spotify

https://open.spotify.com/episode/2o0DXrxtkkC81Uo9FQz7cO?si=YpNb3Mw9SCCzigGMqlb9Yw

Atau cek via situs di anchor.fm/dipikirpikir

Wah..  cukup mengerikan dan membuat kita smua khawati apabila RUU PK-S ini jika benar" terealisasi.....
Baiklah...
Terimakasih banyak kak atas pemaparannya yang sangat jelas..

Berikutnya akan saya buka sesi tanya jawab....


###########

Bagaimana cara nya supaya masyarakat kampus bisa memahami ruu PKS.?

Saya punya pengalaman street dakwah di CFD saya bertemu masyarakat dan langsung menyuguhkan perbedaan antara Kekerasan Seksual dan Kejahatan Seksual. Dan seluruh orang yg kita temui, kurang dari duapuluh sih, mgkn 15-17 orang semuanya memilih Kejahatan Seksual yg secara jelas harus diberantas, bukan rumusan bersayap Kekerasan Seksual. Ini adalah hal yang secara mudah masuk ke logika orang.

Yang kita tawarkan adalah konsep Kejahatan Seksual utk mengganti dan menunjukkan kekeliruan konsep Kekerasan Seksual.

[29/7 21.47] Mb Mira FKH KAMMI: Cara mengatasinya ya dg menguatkan dakwah dan peran keluarga, terutama di materi pendidikan Islam dalam aspek seksualitas bagi anak
[29/7 21.48] Mb Mira FKH KAMMI: Kemarinan ada yang bertanya sbb:
[29/7 21.48] Mb Mira FKH KAMMI: Assalamualaikum, saya Sri ingin bertanya. Kita kan hidup di lingkungan dimana sex education masih tabu untuk dibicarakan. Sex education seperti apa yang baik dalam islam?
Terimakasih.
[29/7 21.49] Mb Mira FKH KAMMI: Pertanyaan yang penting banget ini.
Sex education dalam Islam fokusnya adalah menyematkan panduan Islam dalam aspek seksualitas dengan memberikan pemahaman ttg nama dan fungsi alat reproduksi pada anak, nilai keberhargaannya bhw itu tdk boleh disentuh orang atau dirinya sendiri jk diluar istinja, bagaimana bertindak apabila ada gelagat orang yg mau jahat apa yang harus dilakukan bhw harus lsg teriak melapor ke ortu dsb, apa itu baligh apa tanda2nya dsb, kemudian bagaimana pernikahan dan apa konsekuensinya, bagaimana merawat menjaga kebersihan, dsb.
[29/7 21.49] Mb Mira FKH KAMMI: Bmengajari cara supaya tidak hamil atau supaya bisa sex dg aman walaupun dg berganti2 pasangan.
[29/7 21.49] Mb Mira FKH KAMMI: Bukan dengan sekedar memberitahu jenis2 penyakit kelamin karena memang kecenderungan orang free sex ya berpenyakit. Walaupun yang menikah jg mungkin saja, mungkin, dapat penyakit qadarullah, tapi sy belum pernah dengar kasus pasangan baik2 pny penyakit macam itu. Wallahualam




Teknis Diskusi Online```

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Akan ada dua sesi pada Diskusi online bertema *" Kupas Tuntas RUU P-KS"*

1⃣  *Sesi 1*
Sesi pertama adalah Talkshow dimana  narasumber menyampaikan materi.
Peserta diharapkan tidak mengajukan pertanyaan terlebih dahulu pada sesi ini.


2⃣ *Sesi 2*
Merupakan sesi diskusi dimana peserta diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber.

3⃣ Peserta yang ingin mengajukan pertanyaan diharapkan mengirim emoticon (☝🏻 )terlebih dahulu hingga moderator mengizinkan untuk mengajukan pertanyaan.

Bagi yang belum dipersilahkan moderator, harap menunggu dan bersabar ya πŸ˜‰

4⃣ Peserta yang ingin bertanya diharapkan memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan format: *Nama_Asal daerah_pertanyaan*


Demikian, semoga bisa dilaksanakan bersama dengan sebaik-baiknya. Terima kasih πŸ˜‡
 yg 

Sebelum kita undang pemateri kece kita malam ini... kita kenalan dulu yaa...
*Nama:* Mira Fajri, S.H.
*Domisili:* Kramatjati
*Pendidikan:*
- FH Univ Brawijaya, Konsentrasi HTN.
*Pengalaman Organisasi:*
- Menteri Koordinator Bidang Sosial & Politik EM UB 2014
- Direktur Lembaga Kajian Hukum PP KAMMI
- Kadiv Kajian ITJ Jakarta

Tidak ada komentar: