[28/6 20.31] +62 856-3188-484:
Terimakasih atas waktunya. perkenalkan saya grienda. pada malam ini kita akan berdiskusi mengenai peran media sosial dalam Musim Semi Arab. saya akan coba sampaikan apa yang sudah saya baca, apabila nanti ada pertanyaan yang bisa saya jawab on the spot maka akan saya jawab, kalau tidak bisa mungkin yang lain bisa bantu menjawab, atau saya akan cari jawabannya dan mungkin akan saya japri baik, saya mulai uraian saya
Gerakan massa yang berlangsung di beberapa negara-negara Timur Tengah atau biasa disebut Arab Spring merupakan fenomena baru karena kawasan ini dianggap sebagai perkecualian dalam berkembangnya demokrasi.
Dalam waktu yang relatif singkat gerakan massa mampu menggulingkan kekuasaan diktator di beberapa negara seperti Tunisia, Mesir, Libya dan Algeria. Di tengah media yang dikontrol oleh pemerintah dan kuatnya cengkraman aparat keamanan pemerintah, gerakan masyarakat mampu mengkonsolidasikan perlawanan guna mengakhiri pemerintahan otoriter yang telah berkuasa selama puluhan tahun.
20.35 Media sosial menjadi satu bentuk media baru yang tidak ada di era sebelumnya. Beberapa kalangan menyebut Musim Semi Arab sebagai “revolusi media sosial” atau “revolusi Twitter”. Sebutan ini menandakan peran media sosial yang signifikan dalam proses terjadinya revolusi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana peran media sosial dalam musim semi Arab? Pada kesempatan kali ini kita akan mendiskusikan pertanyaan tersebut.
20.35 Revolusi terjadi karena sebab struktur politik-sosial yang menyertainya. Secara politik, kawasan Timur Tengah terdiri dari beberapa negara dengan pemerintahan otoriter yang berkuasa selama berpuluh-puluh tahun. Ben Ali memerintah Tunisia selama 20 tahun, Mubarak berkuasa di Mesir selama 30 thaun dan Khadafi menjadi diktator di Libya selama 40 tahun.
Pemerintahan otoriter diperkuat dengan membangun sistem kepartaian sistem satu partai. Di Tunisia, Ben Ali menguasai pemilihan umum dengan satu partai, Rassemblement Constitutionnel Demoecratique (RCD). Mubarak berkuasa dengan partai Hizbul Wathan (HW), di Suriah, al-Assad menguasai panggung politiknya dengan dominasi partai Ba’ath.
Media lokal konvensional dikuasai oleh pemerintah. Maka kepercayaan masyarakat terhadap media massa cukup rendah jika dibandingkan dengan media sosial. Merujuk survei kepercayaan terhadap media massa dan media sosial terungkap bahwa kepercayaan terhadap media massa di beberapa negara mencapai setengah dari tingkat kepercayaan terhadap media sosial. Konsekuensinya masyarakat akan mencari berita mengenai isu sosial politik negara mereka dari media sosial.
Berikut data kepercayaan masyarakat Timur Tengah terhadap media konvensional dan media sosial
Kondisi ekonomi juga cukup memprihatinkan dengan tingginya tingkat pengangguran. Tahun 2008 rata-rata tingkat pengangguran di kawasan Timur Tengah mencapai 24%, tertinggi dibanding regional lain. Sebagian besar pengangguran di kawasan ini adalah mereka yang berusia muda dan berpendidikan. Tidak terhubungnya keterampilan pendidikan dengan kebutuhan kerja menyebabkan banyak lulusan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi.
Di Tunisia misalnya, negara dimana pertama kali aksi demonstrasi meletus, secara ekonomi dikuasai oleh perusahaan milik presidennya, Ben Ali. Tahun 2010 perusahaan milik Ben Ali memperoleh keuntungan sebesar 21,3 % dari seluruh keuntungan bersih sektor swasta di Tunisia dengan penguasaan sektor yang beragam, mulai dari transportasi, jasa, otomotif, konstruksi, pangan keuangan, hotel dan media. Penguasaan ini didukung dengan intervensi negara melalui regulasi yang menghalangi perusahaan lain berkompetisi dalam sektor-sektor tersebut.
Dari sisi demografis usia rata-rata penduduk negara-negara di Timur Tengah memang terbilang muda, Tunisia misalnya rata-rata penduduknya berusia 30 tahun. Libya bahkan lebih muda, 25 tahun. Mesir juga terdiri dari penduduk usia muda, 24 tahun. Maka tidak heran apabila sebagian besar yang ikut dalam aksi demonstrasi adalah mereka yang berusia muda. Survei oleh The Arab Transformations mengungkap bahwa 43% dari partisipan aksi berusia antara 18 -35 tahun. Pengunjuk rasa di Tunisia, di dominasi oleh mereka yang berusia di antara 18-24 tahun (45%), tiga kali lipat dari peserta dengan usia tua (55+ tahun).
Penangguran di usia muda memiliki “ketersediaan biografis”, yakni tidak adanya hambatan personal pekerjaan penuh waktu, pernikahan dan keluarga yang dikorbankan ketika bergabung dalam suatu gerakan. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan kekecewaan terhadap pemerintahan diktator yang korup, generasi muda yang sulit mendapatkan pekerjaan ini menjadi kelompok yang signifikan dalam proses revolusi.
Sekitar 70% pengguna Facebook di Timur Tengah adalah mereka yang berusia muda.
Dalam struktur sosial politik tersebut media sosial berfungsi sebagai sarana komunikasi, koordinasi, mobilisasi dan katalisator persebaran ke negara lain. Wael Ghonim, eksekutif Google untuk Mesir yang menjadi aktivis siber dalam Revolusi Tahrir menggambarkan peran media sosial dengan baik, “kami menggunakan Facebook untuk menjadwalkan aksi protes, Twitter untuk berkoordinasi, dan Youtube untuk menceritakan itu kepada dunia.”
Momentum munculnya perlawanan masyarakat terjadi ketika Mohamed Bouazizi membakar diri di depan kantor pemerintah. Aksi itu dilakukan lantaran sayur dan buah-buahan yang dia jual disita oleh aparat keamanan karena dianggap ilegal. Putus asa karena satu-satunya harapan hidup dia direnggut oleh pemerintah di tengah sulitnya mencari pekerjaan, dia memutuskan untuk membakar dirinya di depan kantor pemerintah Sidi Bouzidi. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, dia akhirnya meninggal.
Menariknya peristiwa itu bukan pertama kalinya. Sebelumnya pemuda bernama Monastir juga melakukan aksi bakar diri
Namun informasi tersebut tidak tersebar di media. Sedangkan dalam konteks Bouazizi, gambarnya diunggah
ke media sosial, Facebook. Berita mengenai bakar dirinya ditransmisikan ke dalam media sosial sebagai media baru. Dimana saat itu dua juta orang Tunisia menggunakannya dan memicu aksi protes massa.
Kematian Bouazizi menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah. Melalui blog dan pesan pendek berita mengenainya disebarkan. Masyarakat merasakan simpati atas meninggalnya sang martir dan menyadari bahwa mereka memiliki kekecewaan yang sama. Meningkatnya kesadaran ini mendorong mereka untuk menyebarkan informasi melalui Youtube.
Melalui media asing mereka membaca korupnya Ben Ali. Dalam liputan investigasi digambarkan bagaimana Ben Ali dengan pesawat bersama istrinya pergi ke Eropa untuk berbelanja. Video tersebut disebarkan melalui Youtube. Legitimasi rezim runtuh. Shamseddine Abidi, seorang desainer interior mengunggah video dan perkembangan terkini ke internet dan dikutip Al Jazeera untuk disebarkan ke seluruh dunia.
Di Mesir, polanya mirip. Khalid Said, seorang blogger yang mengekspos korupsi pemerintahan Mubarak meninggal setelah disiksa aparat keamanan. Gambar dan berita meninggalnya Khalid Said tersebar di media sosial dan meningkatkan eskalasi massa untuk menurunkan Mubarak dari kursi kekuasaannya.
Sebagai sarana mobilisasi, mengutip Ghoniem bahwa mereka menjadwalkan aksi protes dengan Facebook, pada faktanya memang banyak ajakan dilakukan melalui Facebook. Hampir semua demonstrasi yang dilakukan oleh banyak orang di beberapa negara dimobilisasi dengan Facebook (Lihat gambar di bawah).
Meskipun tidak menjadi satu-satunya faktor keberhasilan aksi, media sosial berperan sebagai instrumen mobilisasi. Secara kualitatif hal itu tercermin dari hasil survei yang dilakukan German Development Institute terhadap masyarakat Tunisia. Sebesar 78% responden mengetahui informasi mengenai aksi protes yang akan dilakukan dari internet (Lihat Diagram di bawah).
Sebagaimana kata Osama Hoon, aktivis gerakan 6 April di Mesir, menyimpulkan: “sebelum tanggal 25 Januari kegiatan 80% Facebook, 20% tatap muka. Setelah 25 Januari berubah menjadi 20% Facebook, 80% tatap muka”. Pada mulanya para aktivis meyakinkan para warganet untuk membaca postingan di halaman atau grup yang menjadi sentral gerakan di dunia maya seperti grup Facebook “We are Khaled”. Kemudian mereka berusaha untuk mendorong para warganet untuk berinteraksi dengan menyukai dan berkomentar dalam postingan. Setelah itu para warga net mulai menyebarkan dan mengkampanyekan informasi yang mereka dapat. Terakhir, warganet diajak untuk turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi.
Respon pemerintah untuk mencegah revolusi adalah melakukan blokir akses internet. Bahkan sebagian besar masyarakat menganggap tindakan pemerintah untuk memblokir internet berdampak positif terhadap gerakan. Alih-alih mereduksi gerakan, tindakan tersebut justru membuat masyarakat lebih bersemangat guna mendorong orang-orang awam untuk lebih aktif dan mencari cara-cara yang lebih kreatif dalam berkomunikasi (Lihat gambar di bawah)
Media sosial berfungsi untuk menyebarkan revolusi dari satu negara ke negara lain. Dalam konteks Musim Semi Arab hal ini terlihat dari data tagar dari cuitan pengguna Twitter di luar negara-negara tempat berlangsungnya revolusi. Data ini menunjukkan bahwa banyaknya tagar linear dengan eskalasi revolusi. Tagar #sidibouzid mencapai posisi tertingginya atau menjadi trending topic ketika Ben Ali lengser dari tampuk kekuasaanya. Data ini juga memperlihatkan bahwa negara-negara tetangga memiliki kesadaran yang sama dalam menggunakan media sosial sebagai alat transmisi informasi.
Secara kronologis proses revolusi berlangsung selama beberapa tahap. Pertama adalah tahap persiapan, pada tahap ini para aktivis membangun jaringan serta solidaritas guna merumuskan tujuan politik bersama. Tahap kedua adalah ignisi, ditandai dengan adanya insiden yang mewakili kekecewaan bersama yang tidak diliput oleh media arus utama. Fase ketiga adalah aksi turun ke jalan untuk menduduki ruang-ruang urban sebagai simbol perlawanan. Tahap keempat adalah internasionalisasi gerakan yang mana informasi dan komunikasi diperluas di lingkup internasional. Pada tahap ini selain menyebarkan berita ke negara-negara lain di Timur Tengah juga dalam rangka mencari dukungan media internasional dan organisasi internasional untuk menekan pemerintah. Tahap terakhir adalah tahap klimaks yang ditandai dengan turunnya diktator.
Meskipun tidak semua revolusi dalam Musim Semi Arab berhasil menurunkan diktator, bahkan di Mesir militer kembali menguasai dengan melakukan kudeta, akan tetapi gerakan masyarakat berhasil memberikan tekanan yang signifikan terhadap pemerintah.
...............................
Terima kasih untuk peserta yang telah registrasi untuk diskusi online kami
Pertama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas kesehatan sehingga punya kesempatan untuk ikut diskusi hari ini.. nama saya Mhd Iqbal (087869580661), sebagai moderator dalam diskusi ini. Salam kenal untuk semuanya😊[28/6 20.29] Diskusi Pustaka Saga: Yang keempat, saya sampaikan kepada peserta untuk dapat berdiskusi dengan terbuka dan kondusif, tidak perlu merasa enggan untuk menanyakan informasi apapun, kami akan berupaya untuk berbagi informasi sebaik mungkin dan diharapkan dapat menjawab pertanyaan rekan-rekan semua
[28/6 20.30] Diskusi Pustaka Saga: Untuk mempersingkat waktu saya persilahkan ke mas @qomara grienda